Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Analisis Unsur Kultural Prosa Fiksi

Resensi Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Karya Ahmad Tohari


Gambaran Budaya Masyarakat Banyumas dalam Cerita Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari


Nurul Khotimah 

Damono (1984:41) menyatakan bahwa pandangan dunia bukan hanya merupakan ekspresi kelompok sosial tetapi juga kelas sosial. Seorang sastawan adalah anggota kelompok dan kelas sosial tertentu, dan lewat kelompok dan kelas sosial itulah ia berhubungan dan terlibat dalam perubahan sosial dan politik. Jadi, pandangan dunia bukan realitas empirik, melainkan sebuah abstraksi atau ekspresi teoretis dari suatu kelas sosial tertentu dalam periode bersejarah tertentu. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan trilogi yang kental akan gambaran kebudayaan masyarakat Banyumas pada kisaran tahun 1950-1960an. Budaya ronggeng diceritakan secara menarik dan begitu nyata. Hal tersebut dikarenakan latar belakang sosial budaya pengarang yang juga seorang angggota masyarakat Banyumas tahu betul bagaimana budaya masyarakat Banyumas kala itu menjadikan karya sastra sebagai suatu potret kehidupan.

Dalam praktiknya, untuk memahami pandangan dunia yang diekspresikan oleh pengarang, seorang apresiator harus membongkar terlebih dahulu struktur karya yang bersangkutan. Menurut Goldmann, pandangan dunia menentukan struktur suatu karya. Karya sastra yang sahih adalah karya sastra yang memiliki ciri kepaduan internal yang menyebabkannya mampu mengekspresikan kondisi manusia yang universal dan dasar itu (Damono, 1984:42). Dalam tulisan ini akan membahas gambaran kebudayaan dan tradisi  masyarakat Banyumas yang diceritakan pengarang dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.

Analisia dan Iterpretasi
Cerita Ronggeng Dukuh Paruk terjadi sekitar tahun 1950 sampai 1960-an. Latar yang paling sering muncul pada novel ini yaitu desa Dukuh Paruk, Banyumas yang sangat miskin, terpencil, dan selalu ketinggalan Zaman. Ronggeng dijadikan sebagai ciri khas desa ini dan sangat dikenal oleh masyarakat di luar daerah tersebut. Srintil adalah seorang ronggeng yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Awalnya sang kakek Sakarya melihat Srintil begitu gemulai menari tarian ronggeng sambil menyanyikan tembang ronggeng di bawah pohon nangka bersama ketiga yang berperan ayaknya penabuh gamelan padahal Srintil sendiri tidak pernah menyaksikan pertunjukan ronggeng. Srintil dianggap telah kemasukan roh indang seorang ronggeng.
Seiring berjalannya waktu, Srintil berhasil menjadi seorang ronggeng untuk diterima menjadi ronggeng sejati ia harus menjalani ritual yaitu siraman dan bukak kelambu diusianya yang masih sebelas tahun. Seorang ronnggeng diceritakan harus melayani laki-laki yang sanggup membayarnya dan tidakboleh menikah serta mempunyai keturunan. Menjadi seorang ronggeng sama halnya dengan menjadi seorang sundal atau wanita nakal. Namun, di Desa Dukuh Paruk menjadi hal yang biasa bahkan dianggap menjadi wanita terhormat karena tradisi seperti itu telah diwariskan turun temurun.
Srintil kini terkenal sebagai ronggeng yang cantik dan kaya raya. Sementara itu perampokan merajalela. Serombongan tentara didatangkan ke wilayah itu. Rasus menjadi pembantu rombongan militer atas kebaikan dan  kepercayaan komandannya, Sersan Slamet. Pada saat Dukuh Paruk dirampok dan sasarannya adalah ronggeng Srintil yang terkenal akan kekayaannya, Rasus ambil peran penting dalam melindungi dukuhnya dan ronggeng Srintil, wanita yang dicintainya. Sejak peristiwa perampokan yang berlangsung di rumahnya. Srintil  ingin meninggalkan peranannya sebagai ronggeng dan sebagai seorang Sundal. Ia berharap Rasus akan mengawininya. Namun kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya. Rasus meninggalkan Srintil tanpa sepengetahuannya.
 Sintil merasa cahaya hidupnya telah redup. Srintil sudah tidak mau melayani laki-laki bahkan mulai tidak mau meronggeng. Ia berharap bisa menjadi wanita somahan yaitu wanita rumahan yang mempunyai suami, anak seerta melakukan semua pekerjaan rumah. Pada kisaran tahun 1960an terjadi peristiwa komunis. Karena permainan politik telah menyeret Srintil menjadi seorang tahanan karena dia dianggap melakukan perlawanan pada pemerintah mengatasnamakan kesenian rakyat. Di sisi lain Rasus sudah menajadi tentara yan kini menjadi kebanggan Desa Dukuh Paruk.
Di akhir cerita Srintil mengalami gangguan kejiwaan karena perbuat Bajus yang ternyata menyuruh Srintil melayani bosnya dari Jakarta. Rasus mengalami penyesalan yang amat mendalam sebab perbutannya  telah membuat Srintil menjadi seperti itu. Padahal ia masih memendam rasa cinta kepada Srintil.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah salah satu novel sosial budaya yang isinya menceritakan kebudayaan suatu daerah tepatnya kebudayaan di Desa Banyumas, Jawa Tengah. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan kehidupan seorang ronggeng serta kebudayaan yang melekat pada dirinya. Ronggeng yang menjadi ciri khas Desa Dukuh Paruk merupakan suatu hal sangat diagungkan para warga Dukuh Paruk. Tidak semua warga di Dukuh Paruk dapat menjadi seorang ronggeng. Hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan indang ronggeng yang bisa menjadi ronggeng sesungguhnya.
Masyarakat Jawa yang dihadirkan ke dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistis. Mereka percaya kepada roh nenek moyang. Jika berbagai tradisi adat yang selalu dijalankan secara turun-temurun tidak dilaksanakan maka akan datang suatu musibah di desa tersebut. Ronggeng merupakan suatu hal yang istimewa bagi kepercayaan orang Desa Dukuh Paruk karena dengan adanya ronggeng akan membuat bahagia arwah leluhur mereka. 
Masyarakat Dukuh Paruk belum sepenuhnya mengetahui tentang ajaran Islam, mereka lebih menerapkan kepercayaan kepada roh nenek moyamg. Pengetahuan tentang Islampun hanya sedikit mereka ketahui.
Masyarakat Banyumas suatu kelompok manusia yang percaya pada berbagai ritual keagamaan yang berfungsi sebagai suatu kebebasan. Misalnya pada upacara bagelan dalam adat perkawinan bertujuan untuk membebaskan segala pengaruh buruk atau bencana dari kehidupan mereka. Masyarakat yang hidup terkekang cenderung mendewakan budaya mereka sehingga mereka bersifat statis.
Untuk mata pencaharian masyarakat Dukuh Paruk bekerja sebagai petani. Mereka hanya bekerja berdasarkan apa yang telah disediakan oleh alam.  Selain bertani mereka ada juga yang berdagang. Ronggeng yang merupakan ciri khas dari desa tersebut juga dijadikan sebagai mata pencaharian. Srintil yang menjadi ronggeng, para penabuh calung dan dukun ronggeng.
Bila kita lihat keadaan masyarakat Banyumas sendiri sekitar tahun tersebut sesuai dengan yang diceritakan ke dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu masyarakat yang memiliki mata pencarian sebagian adalah bertani dengan memanfaatkan alam yang berada di sekitarnya.
Sistem kesenian pada novel Ronggeng Dukuh Paruk begitu lekat dengan ronggeng. Berbagai upacara yang berhubungan dengan ronggeng begitu menarik untuk disaksikan para warga Dukuh Paruk. Calung Seni musik sejenis gamelan bambu dari bahan baku bambu wulung berlaras slendro dan pelog yang menyajikan aransemen musikal berupa gendhing-gendhing, warna-warna musik pop, dangdut dan campursari, di Banyumas. Calung yang dikisahkan sebagai pengiring dalam tarian ronggeng menjadi ciri khas Dukuh Paruk. Kesenian berupa wayang pun hadir dalam novel tersebut meskipun kesenian wayang tidak terlalu diangkat dalam novel ini karena wayang berada di luar daerah Dukuh Paruk.
 Kesenian masyarakat Banyumas mencerminkan suatu nafas kebebasan.Musik gamelan, suara penyanyi, teriakan-teriakan gembiran, suara gamelan yang bertaluh  mencerminkan kebebasan karakter gaya Banyumas.
Untuk masalah pendidikan, masyarakat yang tidak mengenal pendidikan baik yang formal maupun nonforman sehingga masyarakat ini menderita kemiskinan yang berkepanjangan. Hal itu disebabkan oleh masyarakatnya sendiri yang tidak mau melakukan perubahan dan malas untuk melakukan hal yang baru.
Masyarakat Dukuh Paruk menghormati sang pemangku adat sebagai orang tertua. Orang tersebut dianggap telah memahami benar berbagai tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun. Pemangku adat tersebut biasnya selalu memberikan nasihat-nasihat yang selalu dipercayai bagi para pendengarnya. Sakarya yang dianggap sebagai sang pemangku adat di Dukuh Paruk berusaha memimpin desa tersebut dengan kemapuannya yang terbatas.
Bahasa yang digunakan masyarakat Dukuh Paruk begiru kasar terdengar. Namun, hal ini telah menjadi suatu kebiasan dan tidak dianggap melanggar norma kesopanan bagi masyarakat Dukuh Paruk sendiri.
Dalam bidang kebahasaan, masyarakat Banyumas memiliki bahasa khas, yaitu bahasa Jawa dialek Banyumasan. Jenis bahasa yang satu ini diyakini merupakan bahasa Jawa yang sudah tua, lebih tua dari bahasa Jawa yang berkembag di daerah Surakarta dan Yogyakarta sebagai bekas pusat kekuasaan raja. Cara bicara orang Banyumasada kemiripan dengan orang Sunda yang berbicara keras walaupun sedang tidak bertengkar.
Sistem teknologi dan peralatan masyarakat masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana untuk melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Ilmu pengetahuan yang kurang membuat masyarakat Dukuh Paruk tidak dapat menghasilkan berbagai peralatan yang mendukung untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Keadaan yang tercermin pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dari segi sistem teknologi dan peralatan hidup telah sesuai dengan masyarakat Banyumas saat itu. Mereka masih menggunakan peralat sederhanan untuk melalukan berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Kesimpulan
Karya sastra merupakan hasil produk dari masyarakat yang bersifat imajinatif dan mengandung nilai estetis. Setiap karya sastra dapat dihubungkan dengan masyarakat karena pengarang salah satu masyarakat yang bisa merasakan langsung kehidupan yang nyata bukan sekedar imajinatif belaka. Kajian novel Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat kehidupan masyarakat suatu desa yang sangat kental dengan kepercayaan ronggeng.
Pengetahuan yang sedikit pada masyarakat tersebut menjadikannya masyarakat miskin dan bodoh. Orang-orang berkuasa selalu menindas masyararakat miskin terlihat pada tahun 1965. Unsur kultural yang begitu kental pada budaya masyarakat mengenai ronggeng dan calung sastra memberikan pengetahuan yang jelas kepada kita tentang keadaan masyrakat saat itu karena karya sastra selain bersifat sebagai seni yang memberikan nilai estetis juga memberikan pengetahuan yang luas untuk membuka wawasan para pembacanya. Perubahan  pada desa tersebut sangat sulit sekali tetapi kepercayaan akan ronggeng sedikit demi sedikit hilang dan tidak terallu dipentingkan oleh masyarakat tersebut karena peristiwa tahub 1965 yang seolah menyadarkan mereka.




DAFTAR RUJUKAN

Koetjaraningrat,1999.Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan

Damono, Supardi Djoko, 1984. Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bangsa

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra.   Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Tohari, Ahmad.2003. Ronggeng Dukuh Paruk.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Post a Comment for "Analisis Unsur Kultural Prosa Fiksi "